desa ku

desa ku

Minggu, 31 Januari 2016

7 Larangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam – Larangan Kelima

Jangan Saling Mendengki Dengki atau hasad adalah sikap yang sangat tercela. Yaitu sikap seseorang yang tidak senang apabila melihat saudaranya mendapatkan kenikmatan, keuntungan atau karunia. Ia mengharapkan semua kebaikan itu sirna dari saudaranya, dan kalau bisa berpindah kepada dirinya. Sebagaimana firman Allah Swt, “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya.” (QS. Ali Imran [3]: 120) Dengki sangatlah tercela karena penyakit ini bisa menyebabkan berbagai penyakit lain yang tidak kalah busuk nya. Yaitu dengki bisa mendatangkan rasa dendam, permusuhan, fitnah hingga kemunafikan yang merupakan dosa besar. Betapa berbahayanya dengki itu, sampai- sampai Allah memperingatkan kita dari karakter dengki. Allah Swt berfirman, “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subug. Dari kejahatan makhluk-Nya. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita- wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul- buhul. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” (QS Al Falaq [113]: 1-5) Seperti seorang pedagang yang kios nya bertetanggaan dengan pedagang lain. Mereka berjualan barang- barang yang kurang lebih sama. Namun, kios pedagang X lebih ramai dikunjungi pembeli dibanding kios pedagang Y. lantas, pedagang Y tidak suka atas apa yang terjadi pada pedagang X. ia berharap dirinya lah yang mendapat keuntungan, bukan X. timbul kegelisahan dalam hati Y, sehingga ia berfikir negatif, mengharap apa yang dialami X, terjadi pada dirinya. Bahkan ia mengharapkan karunia yang dirasakan X itu berakhir. Pendengki adalah orang yang paling rugi. Dia berbuat dzhalim yang di rugikan dan yang menderita adalah dirinya sendiri. Padahal kedengkiannya pada orang lain tak akan mengubah apa yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya. Takdir Allah terhadap seseorang tak pernah bisa dihalang-halangi oleh seorangpun atau sesuatu apapun. Malangnya seorang pendengki adalah ia akan semakin bertambah nelangsa dan menderita jika pemberian Allah kepada orang yang di dengki itu semakin bertambah. Kedengkian adalah bukti kurang iman. Dengki itu bukti tidak ridha pada perbuatan Allah terhadap hamba-Nya. Dengki itu sikap ingin mengatur Allah sesuai hawa nafsunya. Tentulah dengki itu sikap yang tak punya adab. Yaitu adab terhadap Allah, Tuhan semesta alam. Padahal sesungguhnya Allah berbuat sesuai kehendak-Nya pasti dengan ke Maha adilan-Nya. Harus kita bersyukur atas apa yang telah Allah karuniakan kepada kita, dan juga turut bersyukur atas apa yang Allah berikan kepada hamba- Nya yang beriman lainnya. Setiap orang mendapatkan kapling ketentuannya masing- masing. Jangankan satu kampong, bahkan kakak-adik saja atau kembar sekalipun tetap saja berbeda. Rezeki, kemampuan, postur tubuh, jodoh dan hal lainnyatidak akan sama. Allah Swt memerintahkan sesama muslim untuk saling mendukng, membantu, mendoakan dan turut merasa gembira atas kegembiraan yang sedang dirasakan oleh sesama muslim. Inilah yang disebut dengan sikap Ghibthah, sikap yang bertolak belakang dengan dengki. Para ulama menerangkan bahwa Ghibthan adalah rasa ingin mendapatkan kenikmatan atau keberuntungan yang didapatkan oleh orang lain, tanpa diiringi hawa nafsu yang menginginkan kenikmatan atau keberuntungan itu hilang dari orang yang mendapatkannya. Orang yang Ghibthah juga tidak merasa benci manakala melihat orang lain mendapatkan nikmat atau keberuntungan. Inilah yang dimaksud dengan dengki atau hasad pada hadits berikut ini. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada hasad yang dianjurkan kecuali pada dua perkara, (yaitu) (1) orang yang diberi pemahaman Al- Quran lalu dia mengamalkannya di waktu- waktu malam dan siang; dan (2) orang yang Allah karuniai harta lalu dia menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim. –Shahih). Ghibthah terhadap dua orang yang dijelaskan dalam hadits di atas merupakan sikap yang baik. Bolehkah kita ghibthah pada urusan dunia? Hal ini memiliki hokum asal yaitu boleh. Seperti kita ingin memiliki kendaraan seperti yang dimiliki oleh saudara kita, maka itu diperbolehkan. Namun, perlu kita waspadai bahwa sesuatu yang hukumnya boleh akan menjadi tercela jika berlebih- lebihan. Demikian juga Ghibthah dalam urusan dunia. Ini seperti yang terjadi pada kaum Qarun. Ketika mereka melihat kemewahan dan kekayaan Qarun, maka mereka berangan- angan memiliki kemewahan seperti Qarun. Hal ini diterangkan oleh Allah Swt dalam surat Al Qashash ayat 79-80. Adapun Ghibthah yang dianjurkan adalah Ghibthah dalam urusan akhirat. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ghibthah dalam urusan akhirat dalah terhadap dua orang yang melakukan dua perbuatan sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas. Atau perbuatan yang semisal dengannya. Ghibthah dalam urusan akhirat akan mendorong kita menjadi semakin semangat dalam beramal shaleh. Melihat seorang yang hafidz Al-Quran, maka kita menjadi semangat menghafal Al- Quran. Melihat orang yang gemar bersedekah, maka kita menjadi semangat bekerja agar bisa leluasa sedekah. Emikianlah contoh Ghibthah dalam urusan akhirat Sahabatku, dengki adalah perkara yang buruk. Lawanlah dengki dengan Ghibthah. Semoga kita tidak tergolong orang- orang yang merugi karena sesungguhnya dengki hanya mendatangkan dosa dan menyengsarakan diri sendiri. Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym ) Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.
Jangan Buruk Sangka Imam Al- Qurthubi menerangkan kepada kita bahwasanya buruk sangka itu adalah melemparkan tuduhan kepada orang lain tanpa dasar yang benar. Yaitu seperti seorang menuduh orang lain melakukan perbuatan jahat, akan tetapi tanpa disertai bukti-bukti yang membenarkan tuduhan tersebut. Allah Swt berfirman, “Hai orang- orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba- sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba sangka itu dosa. Dan janganlah mencari- cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adkah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al- Hujurat[49]: 12) Ayat ini diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw yang berbunyi, “Iyyakum wa dzana, fainna dzonna akdzabul hadits” yang artinya, “Jauhilah oleh kalian prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan paling dusta.” (Muttafaq alaih—Shahih) Saudaraku, dalam kehidupan sehari- hari kita seringkali menemukan peristiwa seperti ini. Bahkan, boleh jadi diri kita pun tidak luput melakukannya. Baik disadari ataupun tanpa disadari. Hanya karena omongan teman mengenai diri orang lain, kita bisa dengan mudah terpancing untuk turut berprasangka buruk tentangnya. Jika sudah demikian, maka hidup kita tidak akan tenang. Mengapa? Karena kita jadi mudah menilai bahwa orang lain adalah jahat. Kepada orang tertentu yang kita buruk sangkai, kita akan bersikap dingin atau menghindar, karena kita menduga bahwa dirinya jahat dan kita ingin selamat. Padahal sebenarnya, belum tentu seperti itu. Bahkan, sangat mungkin sangkaannya itu keliru. Dalam situasi seperti itu, maka yang rugi siapa? Tiada lain dan tiada bukan yang rugi adalah diri kita sendiri. Kita rugi karena terganggu ketenangan kita. Dan kita bertambah rugi lagi karena buruk sangka mendatangkan dosa pada diri kita sendiri. Na’udzubillahi mindzalik! Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa buruk sangka (suuzhan) adalah haram sebagaimana ucapan yang buruk. Keharaman suuzhan itu seperti haramnya membicarakan keburukan seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu tidak diperbolehkan juga membicarakan keburukannya kepada diri sendiri atau di dalam hati, sehingga kita berprasangka buruk tentangnya. Apa yang Al- Ghazali maksudkan adalah keyakinan hati bahwa suatu keburukan tertentu terdapat dalam diri orang lain. Bisikan hati yang hanya terlintas sedikit saja, maka itu di maafkan. Sedangkan yang dilarang adalah menyangka buruk, di mana persangkaan adalah sesuatu yang di yakini di dalam hati. Jikalau berprasangka buruk terhadap sesama saja sudah mendatangkan dosa. Maka, apalagi jika buruk sangka itu di tujukan terhadap Allah Swt. Seperti apa berburuk sangka kepada Allah itu? Bentuk- bentuk contoh suuzhan kepada Allah Swt adalah sikap putus asa dari rahmat- Nya, merasa diri tidak disayangi oleh- Nya. Juga sikap tidak menerima takdir, menganggap Allah tidak adil, menganggap doanya tidak akan dikabulkan dan menganggap kaum Muslimin akan tetap dalam keadaan kalah dan kemenangan akan selama- lamanya berada ditangan orang- orang kafir. Serta masih banyak contoh lainnya. Sedangkan Allah Swt dengan sangat tegas memperingatkan kita untuk tidak berburuk sangka pada- Nya. Dalam salah satu hadits qudsi disebutkan, “Aku senantiasa berada pada prasangka baik hamba-Ku dan aku akan bersama dia ketika ia mengingat-Ku (berdzikir kepada-Ku) kalau ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingat dia dalam Diri-Ku. Bila ia ingat Diri-Ku di tempat ramai, Aku akan mengingatinya di tempat keramaian yang lebih baik dari padanya. Kalau ia (hamba-Ku) mendekat kepada-Ku sejengkal, akan Ku dekati ia sehasta. Kalau ia mendekat kepada- Ku sehasta, maka Aku dekati dia sedepa dan bila dia datang kepada- Ku berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari Muslim. – shahih) Mungkin kita bertanya- Tanya di dalam hati “Lalu bagaimana cara kita membedakan antara sikap waspada dengan buruk sangka?” pertanyaan seperti ini sangat wajar muncul di dalam benak kita. Karena, memang sangat halus perbedaanya dan juga sangat mudah sekali prasangka terbetik di dalam hati kita. Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa Allah akan memaafkan prasangka buruk yang muncul hanya selintas saja di dalam hati yang kemudian dilupakan. Karena manusia adalah makhluk yang lemah yang tidak mampu menghalang- halangi munculnya kilatan prasangka yang muncul secara tiba- tiba begitu saja di dalam hatinya. Namun, apabila kilatan prasangka tersebut dipelihara terus, dilanjutkan atau ditumbuhkan dengan kecurigaan- kecurigaan berikutnya apalagi hingga dibicarakan kepada orang lain, maka inilah yang mendatangkan dosa. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi RA, bahwa buruk sangka yang hukumnya haram adalah prasangka buruk yang menetap di dalam hati seseorang. Sedangkan prasangka buruk yang muncul secara sekilat saja lalu hilang, itu tidaklah mendatangkan dosa karena memang di lur kemampuan manusia. Pendapat Imam Nawawi tersebut didasarkan kepada sebuah hadits yang menjelaskan bahwasanya Allah Swt akan memaafkan seorang hamba yang di dalam hatinya muncul suatu hal terlarang secara selintas saja secara tidak sengaja, dan ia tidak melanjutkannya dengan cara menceritakannya atau melakukannya. Hadits tersebut adalah sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di hati mereka selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.” (HR. Bukhari, Muslim.—shahih) Sebagaimana pengertiannya bahwa buruk sangka adalah menuduh orang lain berbuat keburukan tanpa didasari dengan bukti atau petunjuk yang kuat. Menurut penjelasan Imam Nawawi, maka jika persangkaan muncul karena didorong oleh petunjuk- petunjuk yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, persangkaan ini tidaklah haram dan tidaklah termasuk kepada buruk sangka. Karena demikianlah tabiat manusia, jika ia mendapatkan petunjuk- petunjuk yang kuat, maka muncullah persangkaan di dalam dirinya. Persangkaan buruk yang sama sekali tidak didasari petunjuk- petunjuk yang kuat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal buruk sangka kepda Allah Swt, hal ini biasanya terjadi manakala seseorang ditimpa kesulitan hidup. Ketika doanya tidak juga terkabul, keinginannya tidak juga terwujud, maka ia kecewa. Ia putus asa dan beranggapan bahwa Allah Swt tidak mau endengarkan doanya, tidak menyayanginya. Dalam situasi itu biasanya seseorang menjadi gelap mata dan buta hati. Ia lupa padasekian banyak pemberian Allahyang terlimpah kepada dirinya selama ini. Ia lupa pada penjaganya, pemberian, dan kasih sayng Allah yang tiada pernah bisa terhitung disepanjang hidupnya, sejak ia di dalam rahim ibuya, hingga ia lahir tumbuh dan berkembag. Padahal, ketika doanya tidak terkabul saat itu, maka itu sesungguhnya bukanlah tidak dikabulkan oleh Allah Swt. Melainkan Allah menundanya dan mengabulkannya berupa kebaikan di akhirat kelak. Atau Allah akan mengabulkannya dengan cara menyelaatkan dirinya dari keburukan. Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah selama tida mengandung dosa dan memutuskan silaturahim, melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan doanya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa.” Nabi Saw lantas berkata, “ Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa- doa kalian.” (HR Ahmad.—shahih) Selain itu, sifat manusia yang selalu tak pernah puas mengakibatkan selalu bermunculan keinginan demi keinginan. Manusia mengira bahwa segala hal yang ia inginkan itu memang baik baginya. Setelah punya motor, ia ingin punya mobil. Setelah punya mobil, ia ingin punya mobil yang mewah. Setelah punya kontrakan, ia ingin punya rumah. Setelah punya rumah, ia ingin punya rumah yang lebih luas dan lebih indah. Begitulah seterusnya. Setelah punya pekerjaan, ia ingin punya jabatan atau kedudukan yang lebih tinggi lagi. Ingin punya penghasilan yang lebih tinggi lagi. Ingin punya penghasilan yang lebih besar lagi Demikianlah manusia. Memang tidak salah manakalamanusia punya keinginan. Karena dengan adanya keinginan, manusiaakan hidup secara aktif dan kreatif. Namun yang keliru adalah ketika manusia memikirkan bahwa apa yang diinginkannya harus ia dapatkan sehingga ia berusaha mendapatkannya dengan menghalalkan berbagai macam cara. Dan ketika ia gagal mendapatkannya, lantas ia putus asa dan menghujat siapa saja, tak terkecuali Allah Swt. Inilah sikap yang salah. Artinya: “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216) Sebagai contoh, ada yang ingin menjadi pegawai negeri. Ujian-ujian seleksi ia ikuti. Berbagai persyaratan ia penuhi. Ia menghindari praktik kotor melakukan sogokan untuk meloloskan keinginannya. Akan tetapi, ia tidak lulus ujian tersebut. Pada kesempatan berikutnya ia mencoba kembali, namun tidak juga lulus. Orang yang mengalami hal demikian bisa jadi terjerumus pada sikap putus asa dan berburuk sangka kepada Allah Swt. Namun, bisa jadi juga dia tetap berprasangka baik kepada-Nya dengan meyakini bahwa kewajiban dirinya hanyalahberusaha seserius dan sebaik mungkin. Karena apapun hasilnya, itu adalah kekuasaan Allah Swt. Siapa yang tahu jika ternyata ketidaklulusannya yang berkali- kali itu mengantarkan dirinya menjadi seorang wirausaha sukses. Berprasangka baik terhadap Allah Swt akan membuat kita senantiasa siap menerima ketetapan-Nya yang akan terjadi kepada kita. Baik itu kenyataan yang sesuai dengan keinginan, maupun yang tidak. Baik itu kenyataan berupa keberuntungan, maupun kenyataan berupa musibah. Prasangka baik terhadap Allah Swt membuat kita senantiasa yakin bahwasanya setiap ketetapan Allah Swt terhadap diri kita itu pada hakikatnya adalah kebaikan. Sebagaiman firman Allah Swt.,“Dan dikatakan kepada orang- orang yang bertakwa, “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab, “ (Allah telah menurunkan) kebaikan!”Orang- orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampong akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik- baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS. An Nahl [16]: 30) Tidaklah semata- mata Rasulullah Saw melarang umatnya dari suatu perbuatan tertentu, kecuali karena perbuatan tersebut bisa berdampak buruk. Baik bagi dirinya maupun orang lain. Tak terkecuali buruk sangka. Selain mendatangkan dosa, buruk sangka juga mengganggu kesehatan mental dan jiwa. Karena setiap kali seseorang berburuk sangka terhadap orang lain, maka selama itu pula dirinya akan dipenuhi dengan pikiran- pikiran negative, kesehariannya tidak tenang, gundah gulana dan gelisah disebabkan prasangkanya sendiri . Buruk sangka tanpa terasa membuat seseorang menjadi berjiwa pengecut. Karena ia terbiasa sibuk dengan prasangkanya tanpa ada keberanian untuk mencari kebenaran atau tabayyun langsung kepada orang bersangkutan. Akibatnya kemudian, seseorang yang selalu berburuk sangka, tentunya sulit untuk bahagia. Bahagia adalah keadaan di mana hati tenang tentram. Sedangkan dengan buruk sangka, ketenangan hati akan sangat sulit di dapat. Mengapa? Karena rasa curiga dan pikiran negative lebih mendominasi diri kita. Jika sudah demikian, bagaimana mungkin bisa tenang?! Semoga kita terhindar dari sifat buruk sangka. Sehingga tenanglah hati kita dan bahagialah hidup kita. Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym ) Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.

Jumat, 22 Januari 2016

http://www.suarakutim.com/mk-tolak-gugatan-asaa-ismu-kb-pimpin-kutim-5-tahun-kedepan/

Selasa, 19 Januari 2016

Islamic Center Kaltim Samarinda

ICK sebagai Pusat Budaya Islam Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak mengaku siap mendukung peningkatan pengelolaan Islamic Center Kaltim (ICK) yang lebih profesional. Islamic Center diharap menjadi pusat kebudayaan islam atau pelaksanaan kegiatan keagamaan di Kaltim. Gub. awang farok “Mari kita dukung (Islamic Center Kaltim jadi pusat kebudayaan islam di Kaltim,Red). Jadikan Islamic menjadi kebanggaan kita bersama,” seru Gubernur Faroek saat menghadiri peringatan malam Nuzulul Quran, di Islamic Center Samarinda. Menurutnya, pemprov siap terus meningkatkan dukungan semangat dan penganggaran untuk memaksimalkan pengelolaannya. Bagaimanapun Islamic Center merupakan tempat peribadatan yang juga aset pemerintah daerah. Berkaitan itu, kepengurusan Badan Pengelola Masjid Islamic Center Samarinda yang baru diminta mampu membawa kemajuan dan kemakmuran masjid melalui perencanaan program kegiatan yang lebih baik. “Tingkatkan koordinasi dengan Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Kaltim untuk mengagendakan kegiatan islam, sehingga semakin banyak kegiatan-kegiatan keagamaan diselenggarakan di sini,” katanya. Seperti diketahui, PHBI Kaltim yang diketua Kepala Biro Sosial Setpov Kaltim,Syafrian Hasani ini merupakan lembaga yang berperan merencanakan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan momentum peringatan hari besar agama. Mulai tahun baru islam, maulid, isra miraj, hingga hari raya, dan nuzulul quran. Sumber : Diskomimfo Prov. Kaltim

Kamis, 07 Januari 2016

syarat menjadi imam shalat

Masya Allah !! Inilah 9 Syarat untuk Menjadi Imam yang Belum Kita Ketahui .. Thursday, 24 December 2015 ISLAMI syarat menjadi imam shalat Bagi Seorang Muslim, tentunya sangat memerlukan sekali Sosok seorang Imam. Sebagai pemimpin dalam shalat, rumah tangga, ataupun sebagai tauladan Kita. Namun tidak semua orang dapat menajdi seorang Imam. Karena untuk menjadi Imam ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Baca juga : Subhannallah! Demi Mendukung Palestina, Ronaldo Menolak Kontrak Jutaan Dollar Pepsi. Seperti yang tertulis Dalam kitab Fiqh al-Islami wa Adillatuhu yang ditulis oleh Syaikh Wahbah Al-Zuhaili , disana tertulis bahwa ada 9 (sembilan) syarat utama untuk menjadi seorang imam dalam shalat, yaitu: Islam Berakal Baligh (mumayyiz) Laki-laki Suci dari hadas Bagus bacaan dan rukun-nya Bukan makmum (disepakati 3 mazhab) Selamat, sehat (tidak sakit), tidak uzur Lidahnya fasih, dapat mengucapkan bahasa Arab dengan tepat. Disuatu ketika, dalam sebuah pertemuan, dan terdengar suara adzan yang Berkumandang. Saat itu setiap muslim harus menjalankan Shalat. Dalam keadaan tersebut, setiap orang yang hadir dalam pertemuan memenuhi 9 syarat yang telah disebutkan di Atas. Bagaimanakah cara menentukan siapa yang baik dan lebih layak menjadi Imam Shalat adalah ( harus dipenuhi secara berurutan ) : Wali (pemimpin) Imam ratib (yang diangkat oleh wali) Orang yang paling memahami tentang fiqih Orang yang paling banyak hafalan dan bagus bacaannya Orang yang paling wara’ Di zaman Rasulullah, orang yang terlebih dahulu hijrah Lebih dahulu masuk Islam Nasabnya baik Perjalanan hidupnya lebih baik Lebih bersih pakaiannya Badannya bersih Memiliki kepakaran Suaranya bagus Lebih tampan Sudah menikah. Begitulah ketentuan Untuk menajadi Imam Shalat yang dituliskan dalam Kitab Fiqih karya Syaikh Wahbah Al-Zuhaili . Semoga artikel ini bermanfaat, tidak lagi ada kekeliruan dalam memilih Siapa yang pantas menjadi Imam Shalat. Sumber: http://www.viralsekarang.com/2015/12/masya-allah-inilah-9-syarat-untuk.html?m=1